Minggu, 21 Februari 2010

Kesesuaian Lahan dan Kakao

2. 1. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi lahan adalah proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun nonpertanian. Adapun kerangka dasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut (Sitorus, 1995). Menurut Husein (1981), evaluasi kesesuaian lahan adalah usaha untuk mengelompokkan tanah-tanah tertentu sesuai dengan kebutuhan tanaman atau golongan tanaman.
Evaluasi kesesuaian lahan mempunyai penekanan yang tajam, yaitu mencari lokasi yang mempunyai sifat-sifat positif dalam hubungannya dengan keberhasilan produksi atau penggunaannya. Dalam menentukan kesesuaian untuk tanaman tertentu dikenal dua tahapan. Tahapan pertama menilai persyaratan tumbuh tanaman yang akan diusahakan atau mengetahui sifat-sifat tanah dan lokasi yang pengaruhnya bersifat negatif terhadap tanaman. Tahapan kedua mengidentifikasi dan membatasi lahan yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan tetapi tanpa sifat lain yang tidak diinginkan (Sitorus, 1989).
Prinsip utama yang digunakan dalam proses evaluasi lahan adalah sebagai berikut (FAO, 1976; Young 1978) dalam Sitorus, (1989):
1. Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan macam atau jenis penggunaan lahan tersebut.
2. Evaluasi lahan membutuhkan pembandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan memasukkan yang diperlukan.
3. Evaluasi dilakukan sesuai dengan kondisi-kondisi fisik lahan, kondisi sosial, kondisi ekonomi dan kondisi nasional.
4. Kesesuaian didasarkan atas penggunaan yang lestari.
5. Evaluasi melibatkan pembandingan lebih dari satu jenis penggunaan lahan.
Sys et al (1991) menambahkan bahwa klasifikasi kesesuaian aktual dan potensial adalah konsep lain dari evaluasi lahan dimanan kelas kesesuaian aktual berhubungan dengan kondisi lahan pada saat ini didasarkan kepada observasi langsung, sedangkan kelas kesesuaian potensial menunjukkan suatu situasi akan datang jika lahan telah diubah dengan perbaikan-perbaikan dasar.



2. 2. Metode Pendekatan dalam Evaluasi Lahan
Ada tiga metode pendekatan yang umum digunakan dalam evaluasi lahan yaitu pendekatan pembatas, pendekatan parametrik dan kombinasi pendekatan pembatas dan parametrik.
2. 2. 1. Pendekatan Pembatas
Pendekatan pembatas lahan adalah suatu cara memperlihatkan kondisi lahan atau karakteristik lahan. Pembatas lahan ialah penyimpangan dari kondisi optimal karakteristik lahan dan kualitas lahan yang memberikan pengaruh buruk untuk berbagai penggunaan lahan (Sys et al., 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa pendekatan pembatas lahan terbagi menjadi beberapa tingkat pembatas suatu lahan dan kelas kesesuaiannya mulai dari tingkat tanpa pembatas sampai pada tingkat sangat berat. Urutan tingkat pembatas sebagai berikut:
a. 0 (tanpa pembatas), digolongkan ke dalam kelas S1
b. 1 (pembatas ringan), digolongkan ke dalam kelas S1
c. 2 (pembatas sedang), digolongkan ke dalam kelas S2
d. 3 (pembatas berat), digolongkan ke dalam kelas S3
e. 4 (pembatas sangat berat), digolongkan ke dalam kelas N1 dan N2

2. 2. 2. Pendekatan Parametrik
Dalam pendekatan parametrik dilakukan pemberian bobot atau rating pada tiap karakteristik (kualitas) lahan. Jika karakteristik lahan atau kualitas lahan optimal untuk suat tipe penggunaan lahan yang dipilih, maka
diberikan nilai rating maksimum 100, namun jika karakteristik atau kualitas lahan memperlihatkan adanya pembatas, maka diberikan nilai rating yang rendah (Sys et al., 1991).
Menurut Mabbut, (1996) dalam Sitorus (1989), pendekatan parametrik mengkelaskan lahan atas dasar sejumlah sifat lahan tertentu, dimana pemilihan sifat tersebut ditentukan oleh peruntukan atau penggunaan lahan yang sedang dipertanyakan. Pendekatan ini biasanya digunakan apabila individu dari sifat lahan dianggap lebih penting daripada sifat lahan keseluruhan.
Pendekatan parametrik mempunyai beberapa keuntungan yaitu lebih bersifat kuantitatif dan kurang tergantung terhadap hasil interpretasi yang sifatnya subjektif dari bentuk lahan. Juga lebih bersifat statistik dalam mengukur keragaman, menformulasikan pengambilan contoh yang rasional dan menyatakan batas peluang dari hasil-hasil penemuan. Selain itu juga lebih cocok dengan perkembangan yang semakin meningkat (Sitorus, 1989).

2. 2. 3. Kombinasi Pendekatan Pembatas dan Parametrik
Kombinasi pendekatan parametrik dan pembatas yang dikemukakan oleh Sys et al (1991), sering digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Penentuan kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara memberi bobot berdasarkan nilai kesetaraan tertentu sekaligus merupakan penentuan tingkat pembatas lahan yang dicirikan oleh harkat terkecil.
Tingkat pembatas dan kombinasi antara pendekatan pembatas dan parametrik dalam evaluasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan
Indeks Lahan atau Iklim Nilai Ekivalensi

Tingkat Pembatas Kelas Kesesuaian Lahan
>75
50 – 75
25 – 50
12 – 25
<12 100 – 85
85 – 60
60 – 40
40 – 25
<25 Tidak Ada
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat S1
S2
S3
N1
N2
Sumber: Sys et al (1991).
2. 3. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi lahan secara kualitatif menekankan pada hasil yang hanya bersifat kualitatif saja, seperti penggolongan satuan lahan ke dalam kategori; sesuai, cukup sesuai, sesuai marjinal, dan tidak sesuai, tanpa memperhitungkan biaya dan pendapatan yang akan diperoleh. Pendekatan ini umumnya hanya menggunakan parameter biofisik dalam proses evaluasi. Faktor ekonomi hanya digunakan sebagai acuan dasar, tidak dikaji. Sedangkan evaluasi kuantitatif adalah suatu pendekatan dimana perbedaan-perbedaan antara kelas-kelas satuan lahan dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka-angka seperti indeks produktivitas, produksi persatuan lahan, daya dukung lahan, keuntungan bersih dan lain-lain (Baja, 2001.).
Dengan kata lain, aspek ekonomi lebih diperhitungkan dalam pendekatan ini. Dent dan Young (1981), membagi pendekatan kuantitatif menjadi evaluasi fisik kuantitatif dan evaluasi ekonomi. Hasil evaluasi kualitatif umumnya menunjukkan kemungkinan besarnya input yang diperlukan (melalui perbaikan kualiats) untuk pengusahaan suatu lahan terhadap jenis penggunaan tertentu. Sedangkan hasil evaluasi kuantitatif akan menunjukkan besarnya keuntungan atau kerugian dalam penggunaan lahan tertentu. Hasilnya cepat out of date akibat nilai ekonomi yang cepat berubah (Baja, 2001). Struktur dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan terbagi kedalam tingkatan ordo, kelas, sub kelas dan satuan.



2. 3. 1. Ordo
Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukkan apakah lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Ordo kesesuaian lahan ini dibagi dua yaitu; 1) Ordo S (sesuai) ialah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumber daya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatannya melebihi masukan yang diberikan, 2) Ordo N (tidak sesuai) ialah lahan yang mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah penggunaan secara lestari.
2. 3. 2. Kelas
Kesesuaian lahan pada tingkat kelas adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan menggambarkan tingkat-tingkat kesesuaian dari ordo. Apabila tiga kelas yang dipakai dalam ordo sesuai (S) dan dua kelas dalam ordo tidak sesuai (N), maka pembagian serta defenisi kelas tersebut adalah sebagai berikut:
2. 3. 2. 1. Kelas S1 (Sangat Sesuai):
Lahan tanpa pembatas atau sedikit pembatas ringan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan sumberdaya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan.
2. 3. 2. 2. Kelas S2 (Cukup Sesuai):
Lahan yang mempunyai pembatas yang agak berat untuk suatu penggunaan secara lestari. Pembatas akan mengurangi hasil dan keuntungan serta menaikkan masukan yang diperlukan.
2. 3. 2. 3. Kelas S3 (Sesuai Marginal):
Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk penggunaan yang lestari. Pembatasnya akan mengurangi hasil dan keuntungan serta perlu menaikkan masukan yang diperlukan.
2. 3. 2. 4. Kelas N1 (Tidak Sesuai Saat Ini):
Lahan yang mempunyai faktor pembatas berat tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya rasional.
2. 3. 2. 5. Kelas N2 (Tidak Sesuai Permanen):
Lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.



2. 3. 3. Sub Kelas
Kesesuaian lahan pada tingkat sub kelas mencerminkan jenis-jenis pembatas yang dimiliki atau bentuk perbaikan dalam suatu kelas kesesuaian lahan, tiap kelas kecuali kelas S1 dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub kelas tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas yang ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas.
Beberapa jenis pembatas menentukan sub kelas kesesuaian lahan yaitu pembatas iklim (c), pembatas topografi (t), pembatas kebasahan (w), pembatas faktor fisika tanah (s), pembatas faktor kesuburan tanah (f), pembatas salinitas dan alkalinitas (n).
2. 3. 4. Satuan
Kesesuaian lahan dalam tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub kelas berdasarkan atas besarnya faktor penghambat. Pada penelitian ini, tingkat kesesuaian lahan hanya dilakukan sampai kategori sub kelas.




2.4 Kakao (Theobroma cacao L.)
2.4.1 Sistematika Tanaman Kakao
Kakao merupakan satu-satunya diantara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988), sistematika tanaman kakao adalah sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
Jenis : Theobroma cacao L.

Menurut Cheesman (cit. Wood dan Lass, 2001), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo , forastero dan trinitario. Sifat criollo adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit. Permukaan kulit buah criollo kasar, berbenjol-bonjol, dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetepi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar lemak dalam biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran bijinya besar, bentuknya bulat, dan memberikan citarasa khas yang baik. Lama fermentasi bijinya lebih singkat daripada tipe forastero. Dalam tata niaga kakao criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine-flavoured), sementara itu kakao forastero termasuk kakao lindak (bulk)
2.4.2 Kesesuaian Lahan Dan Syarat Tumbuh Tanaman Kakao
Untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, tanaman kakao menghendaki lahan yang sesuai, yang mempunyai keadaan iklim dan keadaan tanah tertentu Keadaan iklim yang sesuai untuk tanaman kakao, antara lain:
a. Curah hujan cukup dan terdistribusi merata, dengan jumah curah hujan 1500-2500 mm/th, dengan bulan kering tidak lebih dari 3 bulan.
b. Suhu rata-rata antara 15 - 30 C, dengan suhu optimum 25,5 C
c. Fluktuasi suhu harian tidak lebih dari 9 C
d. Tidak ada angin bertiup kencang
Keadaan tanah yang dikehendaki tanaman kakao antara lain:
a. Solum tanah dalam (>150 cm)
b. Tekstur dan struktur tanah baik, sehingga tanah mempunyai daya menahan air, aerasi, dan drainase yang baik
c. pH tanah antara 6 - 7
d. Kandungan bahan organik tidak kurang dari 3%
e. Kandungan unsur hara cukup tinggi
2.4.3 Anatomi Kakao
Tanaman kakao tergolong dalam suku Sterculiacea dari bangsa Malvales. Berbeda dengan suku dari bangsa yang lain, struktur anatomi Sterculiaceae memiliki banyak kekhususan. Uraian anatomi organ kakao dimulai dari akar kemudian dilanjutkan dengan batang dan akar.
2. 4. 3. 1. Anatomi Akar
Pada saat akar mengalami pertumbuhan sekunder, berkas pengangkut primer akan menyusun bagian tengah kemudian membentuk struktur heksagonal (akar tunggang) dan struktur tetragonal (akar lateral). Pada jaringan primer, berkas floem letaknya berselang-seling secara radial dan berkas xilemnya dipisahkan oleh lapisan sel parenkim. Sementara itu, floem primer membentuk kelompok dan kemudian endodermisnya dipisahkan oleh sel perisikel. Awal pertumbuhan akar lateral dari lapisan perisikel berasal dari satu sisi yang berlawanan dengan tempat berkumpulnya xylem primer. Korteks disusun oleh 6-16 lapis sel parenkim dan terletak di sebelah luar endodermis. Epidermis akar tersusun atas satu lapis sel.
Xilem sekunder akar disusun oleh unsure-unsur trakea yang terdiri atas trakea, trakeida, serabut trakeida, dan parenkim kayu. Trakea akan lebih banyak dijumpai di dekat xilem primer, tetapi diameternya lebih kecil daripada trakea yang berada jauh dari xilem primer. Struktur jari-jari xilem akar kurang jelas, pada umumnya tersusun atas 1-3 lapis sel parenkim. Penampang melintang sel parenkim ini berbentuk bujur sangkar. Jari-jari xilem bagian luar terkait dengan berkas floem. Di bagian ini, jari-jari xilem akan melebar membentuk bagian floem dengan struktur menyerupai bentuk segitiga. Kebanyakan trakea berada berdampingan dengan jari-jari xilem ini.
Floem sekunder terdiri atas pembuluh tapis, sel pengiring, serabut floem, dan parenkim floem. Struktur berkas floem menyerupai bagian segitiga dan menjadi ciri khas dari suku Sterculiaceae. Berkas floem secara radial berselang-seling dengan jari-jari floem dan disebut sebagai jaringan dilatasi. Ukuran berkas floem akar relative lebih pendek daripada floem batang.
Akar sekunder (lateral) kakao tumbuh dari jaringan perisikel ke arah luar menembus endodermis, korteks, dan epidermis akar primer (akar tunggang). Anatomi akar lateral menyerupai akar tunggang dan perbedaan pokoknya hanya terletak pada penumpang melintang berkas pengangkut primer (primary vascular strand). Pada penampang melintang, akar tunggang bentuknya menyerupai bentuk heksagonal, sedangkan akar lateral menyerupai bangun tetragonal. Pada permukaan akar lateral banyak ditumbuhi bulu akar.


2. 4. 3. 2. Anatomi Batang
Batang kakao bersifat dimorfisme, artinya memiliki dua macam tunas, yaitu tunas ortotrop (chupon) dan tunas plagiotrop (fan). Anatomi kedua macam tunas tersebut pada dasarnya adalah sama. Xilem primer batang terkumpul pada bagian tepi empulur dan berdampingan dengan xilem sekunder yang tumbuh setelahnya. Diameter empulur cukup besar dengan bentuk sel-sel isodiametris dengan ruang-ruang antar sel yang lebar. Di bagian empulur ini terdapat banyak sel lendir yang
merupakan bentukan dari sekitar lima sel parinkem. Sel-sel tersebut memiliki dinding sel yang saling melarut sehingga membentuk saluran lendir memanjang di sepanjang batang.
Ukuran saluran lendir pada empular jauh lebih besar daripada saluran lendir yang terdapat pada korteks. Penampang melintang saluran pada batang ini bentuknya membulat pada bibit umur 4,5 bulan jumlah saluran sekitar 8-12. Pada korteks, bentuk penampang saluran lendir beragam, mulai dari bulat sampai lonjong. Ukurannya lebih kecil, tetapi jumlahnya lebih banyak dibandingkan saluran yang terdapat pada empulur. Walaupun sebarannya tidak teratur, saluran lendir pada korteks mudah ddijumpai pada bibit yang lebih muda karena ukurannya lebih besar.
Korteks pada batang kakao ukurannya lebih tebal dan tersusun atas 15-20 lapis sel. Sel-selnya bersifat parenkimatis dan bentuknya isodiametris. Di bagian luar korteks tersebar sel-sel lendir yang membentuk saluran lendir dan memanjang sampai tangkai daun.
Kekhasan yang lain dari pertumbuhan batang kakao adalah terbentuknya jorket dari tunas ortotrop. Dari joket tersebut akan tumbuh 4-6 cabang plagiotrop. Pengamatan anatomis menunjukan bahwa tiap-tiap cabang plagiotrop tumbuh dari ruas-ruas yang berbeda, tetapi karena buku antar ruas tersebut amat pendek, membuat semua cabang plagiotrop seakan-akan tumbuh dari satu ruas yang sama.
2. 4. 3. 3. Anatomi Daun
Susunan anatomi daun kakao berturut-turut terdiri atas satu lapis sel epidermis, tiga lapis sel palisade, jaringan bunga karang, dan epidermis bawah. Pada epidermis bawah terdapat stomata yang penyebarannya tidak teratur.
Sel-sel palisade daun amat kecil dan memiliki panjang sekitar tiga kali diameternya. Di dalam lapisan palisade ini, tersebar sel-sel lendir yang bentuknya bulat seperti bola. Terkadang, sel-sel lendir tersebut pecah sehingga isi selnya keluar melalui epidermis atas
Pada permukaan bawah daun kakao akan dijumpai stomata. Sel penutupnya berbentuk seperti ginjal yang letaknya tenggelam (kritofor). Indeks stomata beragam, yakni antara 10-28 hingga 19-66, tergantung pada kultivarnya.
Sel-sel epidermis atas lebih besar dan dinding selnya tipis. Permukaannya dilapisi oleh kitin dan kadang-kadang juga dilapisi oleh lendir. Di lain pihak, ukuran sel epidermis permukaan bawah amat kecil dan dinding selnya tebal
2. 4. 4. Morfologi Kakao
2. 4. 4. 1. Daun
Berdasarkan percabangannya, daun kakao bersifat dimorfisme, yakni tumbuh pada dua tunas (ortotrop dan plagiotrop). Daun yang tumbuh pada tunas ortotrop, tangkai daunnya berukuran 7,5-10 cm, sedangkan yang tumbuh pada tunas plagiotrop berukuran sekitar 2,5 cm. Tangkai daun kakao berbentuk silinder dan bersisik halus. Sudut daun yang dibentuk adalah 30-80° terhadap batang atau cabang tempat tumbuhnya, tergantung pada tipenya.


Pada pangkal dan ujung tangkai daun terjadi pembesaran dan sering disebut sebagai persendian daun (articulation). Dengan adanya persendian ini, daun kakao mampu membuat gerakan sebagai respon terhadap arah datangnya sinar matahari.
Kuncup-kuncup daun dilindungi oleh satu pasang stipula pada pangkal tangkainya. Bila daun mulai tumbuh, stipula akan segera rontok. Stipula diduga berperan dalam melindungi kuncup dari faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan.
Ciri-ciri morfologi daun secara global adalah sebagai berikut :
a) Helai daun berbentuk bulat memanjang (oblongus), ujung daun meruncing (acuminatus), dan pangkal daun runcing (acutus).
b) Susunan tulang daun menyirip dan menonjol ke permukaan bawah helai daun.
c) Tepi daun rata, daging daun tipis, tetapi kuat seperti perkamen.
d) Daun dewasa berwarna hijau tua, tergantung pada kultivarnya dengan lebar 10 cm dan panjang bisa mencapai 30 cm.
e) Permukaan daun licin atau mengkilap.



2. 4. 4. 2. Batang dan cabang
Dari aspek tunas vegetative, tanaman kakao memiliki sifat seperti halnya daun, yakni dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ka atas disebut tunas ortotrop (chupon), sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya kesamping disebut plagiotrop, cabang kipas, atau fan. Disamping arah pertumbuhannya, perbedaan kedua macam tunas tersebut juga terletak pada rumus daun, ukuran daun, serta ukuran tangkai daun.
Tanaman kakao yang berasal dari biji, setelah berumur sekitar satu tahun dan memiliki tinggi 0,9-1,5 m, pertumbuhan vertikalnya akan berhenti kemudian membentuk perempatan (jorket/jorquette).
2. 4. 4. 3. Akar
Pada awal perkecambahan benih, akar tunggang tumbuh cepat, yakni mencapai 1 cm pada umur 1 minggu, 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Laju pertumbuhannya kemudian melambat dan untuk mencapai panjang 50 cm diperkirakan memakan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi oleh kondisi air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang jeluknya dalam dan drainase baik, akar tunggang kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0-1,5 m. Tanaman kakao memiliki sistem perakaran yang dangkal karena sebagian besar akar lateral berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada jeluk 0-30cm.
2. 4. 4. 4. Bunga
Bunga kakao mengikuti rumus K5C5A5+5G(5) yang berarti bunga tersusun atas 5 daun kelopak bunga yang tidak terkait satu sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari (tersusun dalam dua lingkaran) masing-masing terdiri dari 5 tangkai sari, dan 5 daun buah yang bersatu.
Ciri-ciri umum dari morfologi bunga kakao adalah sebagai berikut.
a) Berwarna putih, ungu, atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota. Warna bunga ini khas untuk setiap kultivar.
b) Tangkai bunga kecil, tetapi panjang dengan ukuran 1-1,5 cm.
c) Daun mahkota berukuran panjang 6-8 mm dan terdiri atas dua bagian, yakni di bagian pangkal menyerupai kuku binatang dan di bagian ujung berbentuk lembaran tipis berwarna putih yang fleksibel.
2. 4. 4. 5. Buah dan Biji
Bentuk buah dan warna kulit buah kakao sangat bervariasi, tergantung pada kultivarnya. Namun, pada dasarnya hanya ada dua macam warna, yaitu:
a) Buah yang ketika muda berwarna hiaju atau hijau agak putih, bila sudah masak berwarna kuning, dan
b) Buah yang ketika masih muda berwarna merah, bila sudah masak berwarna oranye.
Permukaan kulit buah ada yang halus dan ada yang kasar, tetapi pada dasarnyakulit buah beralur 10 yang letaknya berselang-seling. Buah kakao akan masak setelah berumur 5-6 bulan, tergantung pada elevasi tempat penanaman. Pada saat buah masak, ukuran buah yang terbentuk cukup beragam dengan ukuran berkisar 10-30 cm, diameter 7-15 cm, tetapi tergantung pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama proses perkembangan buah.
Bijji kakao dilindungi oleh daging buah (pulpa) yang berwarna putih. Ketebalan daging buah bervariasi, ada yang tebal dan ada yang tipis. Rasa buah kakao cenderung asam-manis dan mengandung zat penghambat perkecambahan. Di sebelah dalam daging buah terdapat kulit biji (testa) yang membungkus dua kotiledon dan embryo axis
Kakao ditanam pada daerah-daerah yang memiliki bulan kering tidak lebih dari 3 bulan. Menurut Schmidt dan Ferguson keadaan iklim demikian disebut tipe iklim A atau B. Dengan demikian penyebaran pertanaman ini pada umumnya memiliki curah hujan antara 1250-3000 mm tiap tahun. Daerah-daerah di Indonesia tersebut ideal bilamana tidak lebih tinggi dari 1000 m dari permukaan laut (Susanto, 1994).

Tidak ada komentar: